***
Begitu lulus, adik saya begitu antusias untuk segera mendapatkan pekerjaan. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di Jogja setelah kelulusannya untuk mempermudah mendapat informasi seputar lowongan pekerjaan. Di sela-sela masa-masa pencarian kerja itu, dia juga menyempatkan diri untuk pulang dan menjenguk orang tua dan kami semua. Waktu kunjungan itu dia manfaatkan juga untuk mendapat kartu kuning yang saya sebut diatas.
Pagi itu kami, saya dan adik, berangkat menuju kantor tenaga kerja. Adik saya yang berkerudung, memakai pakaian yang sederhana tapi bersih dengan kerudung hasil jahitan dan sulamannya sendiri. Disana kami bertemu dengan bapak pimpinan kantor tersebut yang saya kenal sebelumnya saat saya mencoba "peruntungan saya" ketika ada lowongan pekerjaan melalui kantor tersebut (tapi tentu saja saya gak dapat pekerjaannya karena saya menolak membayar. Seperti yang bapak tersebut ucapkan,"Gak bayar, ya gak dapat." ...hehehe ...).
Sekelumit kesan saya tentang bapak pimpinan kantor tersebut, beliau bukan penduduk asli kota kami melainkan pendatang dari kota yang lebih besar dari kota kecil saya. Fakta tersebut rupanya membuat bapak tersebut merasa punya kelebihan di banding kami yang tinggal di kota kecil. Bahkan sikap menyepelehkan itu juga di tunjukkan saat saya beserta teman-teman mengikuti briefing yang beliau adakan saat kami sedang mengikuti proses eliminasi calon pegawai melalui kantor tersebut.
Kembali ke kisah adik saya, dalam obrolan dengan bapak tersebut, saya utarakan maksud kedatangan kami untuk mendapat kartu kuning buat adik saya. Ketika perbincangan kami sudah lebih menjurus pada maksud kehadiran kami disana, inilah dialognya :
Bapak (B) : " jadi ini mau ambil kartu kuning ?"
Adik (A) : "benar pak!"
B : "IAINnya mana?"
Dengan tersenyum malu-malu sambil menundukkan kepala adik saya menjawab ," Saya bukan lulusan IAIN pak?"
B : " Lo, memang lulusan mana? Biasanya yang pakai pakain seperti itu kan sekolahnya di IAIN?"
A : " Saya lulusan Teknik Geologi UGM pak," lanjut adik saya masih dengan tersenyum malu.
Bapak tersebut hanya bisa berkomentar,"OOO, silahkan kalau mau ambil kartu kuning." Komentarnya juga mengakhiri obrolan kami :)
Setelah menyelesaikan semua prosedur pengambilan dan dalam perjalanan pulang, kami sama-sama tertawa mengingat reaksi bapak tersebut mendengar jawaban adik saya.
Itulah pelajaran yang kami dapat hari itu "Jangan pernah terkecoh oleh penampilan seseorang. Hanya karena memakai pakaian yang sederhana, bukan berarti seseorang tidak mempunyai potensi. Tidak pula karena penampilannya yang mewah, seseorang berhak merasa lebih dari orang lain."
***
Be creative, be yourself and the satisfaction is there for you
Happy crafting everyone
Hany Von Gillern
***
10 comments:
hmmm *sungutku keluar deh mbak* :P
ah, kalau seperti itu, duluuu saya juga pernah menerimanya mbak.
waktu itu masa "ospek dan penataran P4" di ITB. di sebuah gedung kuliah umum, dan dosennya entah dari jurusan apa.
saat itu sdg ada diskusi atau apa gitu, saya lupa. karena suara dosen [laki2] pelan, saya tidak ngeh dan bengong ketika diberi pertanyaan.
saya bilang "maaf pak, maksudnya apa?"
pak dosen dgn entengnya bilang,"loh kamu nggak dengar ya? apa karena telinga kamu ketutup sama jilbabmu?"
teman2 saya [yg pada ga berjilbab] ketawa. hati saya yang masih baru lulus SMA, ya rada gondok dan malu-lah.
tapi ya udin-lah. kalau sekarang sih udah kebal sama komentar begituan. malah konteksnya sering beda, sekarang pertanyaannya skrg sering , "kerja dimana mbak?"
ketika saya jawab, "di rumah, jadi ibu rumah tangga mbak"
ooohh.....
*dengan wajah meremehkan / kasihan, wkkkk : sarapaaann wajib itu maaahhhh hahaha
iya ya, mba hani. aku juga pernah dikira dari pesantren padahal ga pernah nyantren gara-gara katanya jilbabnya agak lebar. mungkin emang pendapat orang kalo begini pasti begitu. padahal banyak juga yang di universitas negeri ya kayak adek mba hani :D
Mbak Heni dan Ila : sayang sekali ya masih ada saja yang berpandangan sempit seperti itu :(
aku pernahjuga tuh mbak begitu, ceritanya memang aku sama suami gak pernah mencantumkan gelar begitu juga waktu mendaftarkan di KAU waktu mau menikah. nah waktu ijab kabul kan ditanya pendidikan dll untukverifikasi data. Penghulunya bengong dan bilang low profile hehehe. dipikirnya kita lulusan SMA
UGM dan IAIN itu sama-sama universitas negeri, apakah sang Bapak menganggap lulusan IAIN kualitas-nya dibawah UGM...oohh ternyata :)
Mbak Lidya : mungkin karena mbak sama masnya masih kelihatan awet muda :)
BlogSofHariyanto : kalo li baca dari ceritanya, tampaknya ya ... :) Wallahuaklam hanya bapak tersebut yang tahu.
Ada IAIN disebut sebut, jadi harus unjuk jari.Aku lulusan IAIN mbak, tapi kalo mau dilihat dari masalah kerudung, jaman kuliah dulu malah yang banyak dipakai sama temen2 ya kerudung yg segitiga tipis gitu. Yg suka bikin malu sendiri coz rambut dan bentuk lehernya kelihatan jelas. Masalah kalah gengsi, di masyarakat emang udah keframe gitu mbak. Padahal sekarang IAIN udah jadi Universitas statusnya. :((
Sudah salah kaprah ya In, padahal aku ketemu mbak Labibah Zain lulusan dan dosen IAIN Jogja, di McGill, Montreal - Canada lagi ngambil S3. Tuh kan ...
Memang menilai sesuatu itu nggak boleh dari luarnya aja ya mbak. Hmm baru tau nih kalo jilbab itu jadi masalah di luar sana. Karena lahir dan besar di Aceh ya orang mengenakan jilbab ya biasa. Di medan juga biasa aja, mungkin karena memang di sana penduduknya heterogen kali ya, jadi toleransinya lebis besar...
Kalo aku begitu Chi, takutnya kecele kata orang Jawa. Dulu ada dosenku, yang kalo dilihat dari penampilannya, gak ngira kalo dia phd, lah pakaiannya sederhana sekali, sepatunya hanya sepatu sandal. Naik sepede ontel pula ke kampus :)
Sekarang keadaannya aku pikir sdh membaik dibanding di tahun 80-an (sdh lahir belum?) :) ketika mulai banyak kaum perempuan muslijm memakai jilbab.
Post a Comment